Bapak

Tepat tiga tahun berlalu sejak kehilangan ibu, kembali lagi saya kehilangan sosok terpenting dalam hidup. Bapak. Dan rasanya sama sekali berbeda. 
I’m totaly lost and don't know what to do.
Sedih. Bingung. Kacau.
Jujur, sejak beliau sakit bulan Oktober tahun lalu, saya berupaya mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Yah setiap hari, setiap pagi, saya berusaha siap dan sedikit cemas sebenarnya mendengar berita apa pun jika Bapak berpulang. Intinya saya mencoba menata mental saya sedikit demi sedikit untuk rasa kehilangan yang sama dengan saat kehilangan ibu. Karena sepenuhnya saya sadar, Bapak memang sudah sepuh dan mungkin beliau juga mulai lelah.
Namun saya salah. Bagaimana pun saya menyiapkan diri, tetap saja berita duka itu begitu menyakitkan. Lebih dari yang saya bayangkan. Rasanya gak sama. Penyesalan lebih besar. 
Kesal, marah, bingung. Banyak hal bercampur jadi satu. Dan tetap saja. 
Saya tidak siap.


Sebagai anak bungsu, saya lebih banyak waktu tumbuh bersama orang tua dibanding kedua kakak saya. Pun sampai saya bekerja di Jakarta, saya yang lebih sering pulang ke rumah, karena kedua kakak saya sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Jadi bonding time saya dengan orang tua memang jauh lebih besar. Dan saya bersyukur diberi kesempatan untuk melihat, belajar dan menikmati kebersamaan itu. Susahnya, kesalnya, senangnya sampai berantemnya.
Iya beranjak besar, saya menyadari orang tua juga bisa tidak sempurna. Gap usia yang cukup jauh (42 tahun FYI) otomatis memunculkan banyak ketidaksamaan pandangan, pendapat atau bahkan prinsip.


Kelas 2 SMP saya menyadari betapa perfeksionisnya Bapak. Ketika suatu siang saat pulang sekolah, dengan bangganya saya menunjukkan ke beliau nilai ulangan Fisika saya yang tertinggi di kelas, dapat nilai 8 kalau tidak salah. Bangga dong ya kan? Namun respon Bapak sungguh tak terduga. 
Bukan pujian, beliau malah komentar “kok gak dapet nilai 10? Cuma 8?”
Deg. 
Sejak saat itulah perjuangan saya dimulai. Iya beliau sangat perfeksionis dan menuntut orang di sekelilingnya juga demikian. Tulisan amat rapi, segala hal harus terencana, apa pun harus dikerjakan dengan baik, dsb.
Dan beranjak besar saya mulai menjaga jarak, saya takut, saya menjauh. Dan sampai saya bercita-cita untuk keluar dari rumah.

Terlepas dari kekurangan beliau, Bapak tetaplah sosok yang mengajari saya ngaji, naik sepeda, mengajari saya mengendarai motor. Melatih saya olahraga badminton, pingpong, sampai basket. Orang yang membuat saya suka membaca, belajar apapun, mencoba banyak hal sampai berani bepergian sendiri. Meski anak perempuan saya harus bisa apa saja, naik genteng, pasang bohlam, nangkep ayam sampai nebang pohon pisang!

Saya amat bersyukur, tumbuh dalam keluarga yang begitu menerapkan gender equality, tidak dibatasi belajar apa saja, malah didorong untuk bisa apa saja.
Bapak meski kepala rumah tangga, beliau bisa masak nasi, nyuci sampai nyeterika baju pun saya malah diajari beliau. Mungkin karena beliau yatim piatu sejak kecil, anak bungsu yang tumbuh besar dengan banyak kakak perempuan yang tak kalah luar biasa.

Beliau seorang pekerja keras yang bisa apa saja. Berkebun bisa, tukang kayu, renovasi rumah, sablon sampai fotografi. Sejak terpaksa harus pensiun dini, beliau senantiasa sibuk mengurus dan mencoba banyak hal. Berkebun salak, menanam jati putih, berjualan susu, budidaya ikan, mengurus sawah, sampai renovasi masjid.
Beliau selalu menghormati orang tua dan menjaga silaturahmi, berupaya membantu saudara, keponakan sampai murid yang butuh pendidikan atau pekerjaan. Mengajari mereka berbagai jenis keahlian, mendorong untuk selalu belajar hal baru dan sebagainya.
Dan satu hal yang amat berharga dan amat saya syukuri, beliau guru ngaji dan selalu mengutamakan Pendidikan agama. Dari anak-anak, ibu-ibu sampai orang tua. Saya ingat, beliau yang perlahan mengajak almarhumah nenek saya belajar sholat, menghafal alfatihah, dan surat pendek lain. Insha Allah menjadi amal jariyah beliau. Aamin.

Perlahan, saya mencoba ikhlas, mensyukuri apa pun yang telah terjadi. Everything happens for a reason, right? Allah belum mengizinkan saya berkeluarga, agar saya fokus merawat orang tua. Memberi kesempatan lebih banyak untuk merawat bapak tahun ini. Bersyukur saat pandemi saya bisa full 3 bulan di rumah bersama beliau. Bersyukur masih dikelilingi Saudara dan teman-teman yang begitu memahami kondisi saya.


Terima kasih, Jazakumullah khairan katsir atas segala perhatian dan bantuannya. Begitu berharga bagi saya dan keluarga.
Mohon maaf sedalam-dalamnya atas segala khilaf, kekurangan dan kesalahan yang kami sekeluarga. Serta tidak bosan-bosannya, mohon doa setulus hati untuk kedua orang tua saya.

Ya Allah, ampunilah keduanya, anugerahi rahmat-Mu, kesejahteraan serta maafkan segala kesalahannya.
Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihii wa’fuanhum.
Aamiin aamin  Ya Robbal Alamiin.

Wassalam

No comments:

Post a Comment