Sandwich Generation, Berkah atau Musibah?


Kemarin lagi rame di twitter bahas tentang hubungan ortu dan anak, antara anak itu rezeki atau punya anak itu pilihan. Merembet ke bahasan ortu yang jadi parasit saat anak itu gede. Lanjut terus bahas toxic parents, bla bla bla.
Hebohlah warganet, dan respon yang diberikan pun beragam. Oke cek dulu deh ni twitnya


Dan kalo diperhatikan respon yang muncul memang tergantung apa yang masing-masing warganet alami sendiri. Subjektif sekali memang.


Kamu gimana?
Pernah dalam posisi terjepit seperti ini?
Antara kebutuhan orang tua, diri sendiri atau bahkan anak atau keluarga barumu. Yup ini lah Sandwich Generation. Generasi yang membiayai hidup ortu atau mertua sekaligus memikirkan rumah tangga sendiri.



Dikutip dari The Asian Parent Indonesia, istilah Sandwich Generation pertama kali dikenalkan oleh Dorothy A. Miller, tahun 1981 melalui jurnalnya yang berjudul The Sandwich Generation : Adult Children of the Aging.
Dalam jurnalnya, Dorothy menyebut mereka yang termasuk Sandwich Generation adalah orang dewasa yang menanggung hidup anak-anak mereka, juga menanggung hidup orangtua mereka.
Hal ini membuat mereka rentan mengalami tekanan atau stress. Kondisi ini memang rentan dirasakan karena selain menjadi tulang punggung bagi orang tua atau keluarga pertama, mereka juga pemberi nafkah utama dalam hidup anak-anak mereka sendiri. Tekanan ini jika tidak ditangani akan memunculkan beragam masalah. Mulai dari terganggunya pekerjaan, pergaulan, bahkan memicu konflik dalam kehidupan rumah tangga.

See?

Gimana menurutmu? Can you relate?




Di masyarakat kita dimana ikatan kekeluargaan masih kental, rasa tanggung jawab anak terhadap ortu jadi hal yang wajib dilakukan. Terlepas bagaimana orang tua kita dahulu mendidik atau merawat kita, stigma wujud bakti anak itu ya ngurusin ortu, keuangan salah satunya. Kan udah dirawat, dididik, disekolahin sampai sukses, gantian dong kamu yang sekarang nafkahin ortu, biayain adek, dsb.
Namun semakin kesini muncul istilah toxic parents, ketika keluarga broken home semakin banyak, ortu yang memperlakukan anaknya seenaknya secara verbal, psikis maupun kekerasan fisik. Banyak cerita tentang gimana dari kecil diperlakukan kasar, dan trauma terbawa sampai si anak dewasa, atau saat kecil ditinggal orang tua begitu saja, tinggal dengan nenek atau keluarga jauh, saat dewasa ortu tiba-tiba balik membawa masalah segudang.
Udah kaya sinetron aja kan. Dan cerita riil seperti ini gak cuma satu dua case, buaanyaak.
Begitulah, tumbuh dalam keluarga yang baik dan utuh itu saat ini suatu privilege, kawan.




Kalau saya?
Awal-awal punya penghasilan, saya punya idealisme tinggi dalam mengatur keuangan. Saya bebas, mandiri, punya banyak rencana besar, dan suka mencoba berbagai hal. Pada saat itu kondisi ortu masih sehat dan keduanya punya dana pensiun cukup. Dan saya bersyukur ortu gak pernah minta apa pun untuk kebutuhan mereka, tapi saya cukup tahu diri untuk sekedar memberi hadiah atau membayar uang berobat atau belanja untuk keduanya. Malahan mereka yang selalu mengingatkan jangan lupa sedekah, qurban, nabung buat umroh, nabung buat beli tanah, dll. Intinya buat kebutuhan saya sendiri.

Malah pas udah pindah kerja di Jakarta, dan tinggal ngikut Saudara dimana harus berangkat kerja subuh-subuh dr JakBar ke Jaksel, mereka yang khawatir nyuruh cari kosan deket kantor. Biaya ngekos dibayarin ortu dulu. Lah saya mah ngitung ongkos yak, ngekos di Jakarta itu  jutaan, gimana ceritanya mau hemat coba. Selama masih bisa ada pilihan gratis ya saya milih jalan Subuh lah. Haha.
Belajar dari ortu yang gap usia anak-ortu cukup jauh, empat puluh tahun bro! Saya melihat bagaimana mereka mengatur penghasilan, mengelola atau berbagi tugas pengeluaran, membeli aset, membangun rumah, atau bahkan saling ngedumel kalo berbeda pendapat haha. Iya, beranjak besar saya mulai memahami bagaimana struggle-nya mengelola keuangan bagi keluarga pegawai negeri itu.  Ngepas. Pas butuh pas ada. Serius. Entah ini suatu berkah atau gimana, wallahualam, biaya menikahkan kedua kakak saya juga tidak dipersiapkan dengan baik. Tapi pas aja gitu, dari saudara lah, dari dapet arisan lah, atau pas dana pensiun ibu keluar. Ajaib emang.

Yang saya tahu, ortu gak pernah punya tabungan besar. Karena emang gaji mereka sudah habis untuk kebutuhan bulanan. Kalaupun suatu waktu ada kelebihan cash, langsung digunakan untuk qurban, sedekah atau beli tanah lagi, atau umroh. 

Nah, saat ini kondisi ortu mulai sakit dan butuh perawatan ekstra. Diitung-itung dana pensiunan mereka ternyata tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan per bulan. Otomatis harus dibantu anak dong. Kedua kakak saya yang sudah berkeluarga tidak sepenuhnya mampu membantu, akhirnya semua mata tertuju pada saya. Iya begitulah. Dipandang berpenghasilan dan belum berkeluarga jadilah pos pengeluaran saya bertambah. 

Ikhlas insya Allah. 

Meski kadang, jujur terasa berat karena saya tanggung sendiri. Kadang juga saya mikir, trus ini yang mikirin saya siapa? Yang biayain kalo nikah siapa? Karena nabung pun saya susah, dana darurat jujur porak poranda. Liat cashflow pengen nangis.

Eh, kok curhat, haha.
Oke tenang, Allah Maha Kaya.

Memutus Rantai Sandwich Generation
Bagi saya sandwich generation ini cenderung musibah. Pengelolaan keuangan yang tidak direncanakan dengan baik, sehingga akhirnya diserahkan pada generasi selanjutnya.
Gak mau kan beban yang kita rasakan berlanjut ke generasi selanjutnya?
Bukan saatnya lagi berfikir bahwa pilihan untuk memiliki anak bertujuan agar mereka membalas budi pada kita nanti. Berbakti oke, itu memang yang diajarkan agama, gimana dahsyatnya doa anak yang shalih itu menembus ruang dan waktu, namun tidak sampai membebani dan merepotkan bukan?
Saya berharap dapat tetap mandiri, sehat dan bermanfaat saat hari tua nanti.

Trus gimana caranya? 


Mengutip dari ZAP Finance (karena saya sendiri masih belajar untuk hal ini) yang bisa dilakukan adalah

1.     Komunikasi dengan pasangan dan keluarga
Komunikasi akan pengeluaran di luar pos keluarga inti penting karena akan mengurangi kesalahpahaman yang kemungkinan besar akan terjadi. Plus bisa mengurangi beban pikiran jika suami atau istri gak nemu solusi jika ada pengeluaran mendadak.

2.     Menambah alokasi pos pengeluaran
Jika memang alokasi kebutuhan untuk orang tua ini sifatnya rutin, bukan insidental saja, tentu saja perlu dialokasikan dalam pengeluaran bulanan. Besarnya berapa persen tentu saja disesuaikan dengan penghasilan kita dan kesepakatan dengan pasangan.

3.     Penetapan dana darurat
Generasi Sandwich membutuhkan setidaknya dana darurat paling tidak sebesar 12x pengeluaran per bulan. Wow? Iya karena terkait dengan banyaknya anggota keluarga yang harus ditanggung, diluar pasangan dan anak. Jika dikumpulkan secara perlahan, konsisten, dan niat yang kuat dana darurat ini bisa dipenuhi dalam jangka waktu tiga sampai dengan lima tahun.


4.   Asuransi Kesehatan
Opsi wajib adalah BPJS, namun jika orang tua memiliki riwayat penyakit kronis atau risiko tinggi tentu saja perlu tambahan asuransi (kalo gak mau ikut jantungan juga) jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Baik untuk ortu maupun diri kita sendiri.

5.   Persiapan untuk generasi selanjutnya
investasi dan persiapan dana pensiun menjadi hal wajib diupayakan mau tidak mau. Perlu direnungkan kembali apakah gaya hidup saat ini sesuai dengan kemampuan finansial atau tidak. Indikator kemampuan finansial adalah kamu sanggup menyisihkan minimal 10 persen dari penghasilan tetap setiap tahun untuk investasi masa depan. Bila jumlah ini belum tercapai secara konsisten, maka mau tidak mau menurunkan biaya hidup dan gaya hidup adalah solusi yang harus diambil.

Gimana? 

Mulai mikir kan? 

Yuk belajar bareng untuk menata dan merencanakan keuangan kita sehingga selalu ada perbaikan kualitas hidup di generasi selanjutnya. 
Iya, paham, memang tidak mudah, saya pun belajar jatuh bangun dari bertahun-tahun lalu dan masih gagal. Tapi setidaknya ada perubahan mindset dan cara mengelola hidup kita dengan lebih baik lagi.


Semangat!

No comments:

Post a Comment