Holaa…
Sudah bulan
terakhir di 2017. Sebenernya banyak PR untuk lanjutan tulisan sebelumnya, cuma…
lagi mualess banget ngedit. Jadi sebelum ke-distract
sama hal lain, lintasan pikiran yang tiba-tiba muncul langsung ku ketik aja. Padahal
sebenernya ini masih di kantor dan di luar lagi hujan super deres.
Ffiuuhh…pantes banjir dimana-mana, kenapa? Ya karena ujan, bukan karena
gubernur baru. Jiaah. Haha…
Habis kesel,
perasaan gubernur sebelumnya juga ga sukses-sukses amat beresin banjir. Giliran
sekarang banjir karena emang hujan deres banget di bully udah kayak ngerusak kerjaan bertaon-taon. Emang mahabenar
netijen dengan segala kuasanya.
![]() |
Okeh, lanjut ke
random topik kali ini, saya mau ngebahas about life perspective. Eits jangan protes dulu, gak seberat yang kalian
kira kok. Sebenarnya ini berawal dari pikiran-pikiran sederhana tentang
kebiasan hidup kita aja. Pas heboh belanja online kemarin, ada yang beda. Gak
biasanya saya ga nafsu ngeborong atau belanja apapun. Asli. Dan baru saya
sadari emang udah lama banget ga belanja di olshop apapun. Sebelumnya saya
memang beberes baju baju yang lama ga dipake tapi masih bagus, saya sortir dan
sumbangin, yang udah buluk atau rusak saya buang. Dan berasa banget leganya,
lahir batin. Meski diliat-liat masih banyak juga yang harus disortir haha. Hal
ini membawa saya ke sebuah paham bernama minimalism. Ada yang tahu? Sebelumnya
saya cuma tahu tentang Marie Kondo, wanita Jepang yang mempopulerkan Konmari
Method, cara mengatur atau menata rumah dan perintilannya dengan praktis dan
sedikit ekstrim sebenarnya, karena kita bener-bener diajak untuk memikirkan
barang-barang mana yang fungsional kita simpan dan barang mana yang hanya
bersifat sentimental saja. Sentimental misal menyimpan kenangan padahal sebenarnya
jarang banget kita pake, nah! Sortir yang super tega ini yang Konmari ajarkan.
![]() |
Sumber : http://blog.laruno.com/wp-content/uploads/2017/12/shutterstock_420986638.jpg |
Oke kembali ke
minimalism, yang intinya adalah menjadikan hidup bermakna dengan sedikit barang,
dimana kita mengalihkan pikiran kita terhadap keribetan perintilan dunia
seperti baju, transportasi, rumah dan pernak-pernik lainnya, dan memanfaat kan
hidup dengan focus pada kehidupan social dan menikmati hidup itu sendiri. Sebenernya
konsep ini mengingatkan kita tentang konsep zuhud dalam Islam. Mengalihkan
kecintaan kita pada dunia dan focus pada akhirat. Ada sebuah film dokumenter
tentang minimalisme yang diinisiasi oleh Joshua
Fields Millburn dan Ryan Nicodemus bisa disimak trailer-nya disini (full nya masih berbayar). Kalau disearch di
youtube banyak juga tayangan tentang minimalism ini, karena semakin banyak yang
mulai mengaplikasikannya, baik secara personal
life atau family life. Menarik
memang, bagaimana kita mengalihkan fokus pada kekayaan duniawi menjadi kekayaan
hidup dalam artian sebenarnya. Kejenuhan yang muncul dari segala macam bentuk
dunia yang kita ciptakan sendiri; dering ponsel yang semakin bikin stress, media sosial yang menjemukan, dan dunia kerja yang tiada habisnya. Saat dunia menawarkan segalanya lewat
teknologi dan berbagai rupa hal baru dan menarik, justru kita rindu pada
kesederhanaan dan kesimpelan hidup.
![]() |
Referensi buku minimalis gaya Jepang by Fumio Sasaki |
Salah satu hal yang berubah adalah bagaimana
saya berpikir tentang uang. Bagaimana di sekeliling saya orang-orang bekerja
siang malam mencari penghasilan untuk membayar cicilan rumah atau mobil selama
bertahun-tahun. Tapi kapan menikmatinya kalau pulang tengah malam, kemudian sebelum
subuh sudah berkutat dengan kemacetan Jakarta. Awalnya saya juga berfikir untuk
mengambil cicilan rumah di Depok atau Bogor untuk investasi, namun kemudian
saya berpikir, untuk apa? Lebih baik saya menabung untuk travelling ke Korea
atau ke Eropa.atau bahkan keliling dunia. Ambisius? Tidak saya kira. Hidup tak
sebatas rumah yang kita punya, atau uang yang kita kumpulkan, tapi bagaimana kita
sebanyak-banyaknya belajar dari orang lain dan lingkungan sekitar tentang
hidup dan bagaimana bermanfaat bagi sesama.
Kemudian dua, bagaimana pesatnya pengaruh media
sosial terhadap cara pandang kita dalam hidup. Begitu mudahnya kita dihujani
dengan berbagai produk tangible dan intangible di Instagram, youtube, dan
lain sebagainya. Idola-idola baru yang muncul bukan hanya karena talenta atau
otaknya, tapi karena look so good in
media. Selebgram, vlogger dan
semacamnya. Saya merasakan betul bagaimana Instagram mendorong saya mencoba
berbagai produk olshop. Dari kerudung, jaket, sepatu sampai skin care. Astaghfirullah, mengingat
betapa kalapnya saya saat itu, bayangkan hampir tiap minggu abang-abang JNE
nganterin paket dari olshop. Hingga
akhirnya saya sadar di satu titik saat menatap barang yang belum sempat saya
pakai menumpuk begitu saja.
....Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
(QS. Al Isra’ : 26-27)
Deg. Terima kasih Ya Allah, telah mengingatkan
dengan begitu jelas dan tegas. Begitu racunnya medsos hingga orang-orang
berlomba-lomba menampilkan sisi diri yang paling update, paling keren, dsb. Secara
ekonomi memang dunia medsos adalah pasar yang paling menjanjikan, dan mendorong
peningkatan ekonomi dunia kreatif. Para influencer
begitu laris dengan endorse berbagai produk, menggantikan advertising atau
iklan konvensional. Muncul berbagai jasa dan produk yang sebelumnya tak
terbayangkan. Misalnya tren bridal
shower, baby shower, home living sampai
jasa foto travelling dan foto pas lahiran. Beneran ya, bagi orang biasa seperti
saya itu semua bikin ngiler. Siapa sih yang gak pengen liat rumah lucu, ditata
rapi, sejuk karena banyak tanaman ijo, trus dalam sekali tap di layar muncul
akun yang membawamu pesen barang ini itu dalam sekali klik. Olala, godaan
banget gak sih. Trus mupeng lihat begitu mudahnya jalan-jalan ke luar negeri,
photo sana sini, dari pre-wed sampe honey moon. Aaak dunia ini begitu
melalaikan sodara-sodara.
Okelah, alhamdulillah saya yang sudah setua ini
bisa sadar, tapi gimana dengan abege jaman now? Yang duit aja masih minta orang
tua? Yang ga bisa nahan diri dengan pesatnya pengaruh media? Gak kebayang. Saya
hanya bisa berdoa semoga generasi selanjutnya tidak selemah dan sekonsumtif yang
saya bayangkan. Semoga.
No comments:
Post a Comment