Random Think in December

Holaa…
Sudah bulan terakhir di 2017. Sebenernya banyak PR untuk lanjutan tulisan sebelumnya, cuma… lagi mualess banget ngedit. Jadi sebelum ke-distract sama hal lain, lintasan pikiran yang tiba-tiba muncul langsung ku ketik aja. Padahal sebenernya ini masih di kantor dan di luar lagi hujan super deres. Ffiuuhh…pantes banjir dimana-mana, kenapa? Ya karena ujan, bukan karena gubernur baru. Jiaah. Haha…
Habis kesel, perasaan gubernur sebelumnya juga ga sukses-sukses amat beresin banjir. Giliran sekarang banjir karena emang hujan deres banget di bully udah kayak ngerusak kerjaan bertaon-taon. Emang mahabenar netijen dengan segala kuasanya.

Okeh, lanjut ke random topik kali ini, saya mau ngebahas about life perspective. Eits jangan protes dulu, gak seberat yang kalian kira kok. Sebenarnya ini berawal dari pikiran-pikiran sederhana tentang kebiasan hidup kita aja. Pas heboh belanja online kemarin, ada yang beda. Gak biasanya saya ga nafsu ngeborong atau belanja apapun. Asli. Dan baru saya sadari emang udah lama banget ga belanja di olshop apapun. Sebelumnya saya memang beberes baju baju yang lama ga dipake tapi masih bagus, saya sortir dan sumbangin, yang udah buluk atau rusak saya buang. Dan berasa banget leganya, lahir batin. Meski diliat-liat masih banyak juga yang harus disortir haha. Hal ini membawa saya ke sebuah paham bernama minimalism. Ada yang tahu? Sebelumnya saya cuma tahu tentang Marie Kondo, wanita Jepang yang mempopulerkan Konmari Method, cara mengatur atau menata rumah dan perintilannya dengan praktis dan sedikit ekstrim sebenarnya, karena kita bener-bener diajak untuk memikirkan barang-barang mana yang fungsional kita simpan dan barang mana yang hanya bersifat sentimental saja. Sentimental misal menyimpan kenangan padahal sebenarnya jarang banget kita pake, nah! Sortir yang super tega ini yang Konmari ajarkan.

Sumber : http://blog.laruno.com/wp-content/uploads/2017/12/shutterstock_420986638.jpg
Oke kembali ke minimalism, yang intinya adalah menjadikan hidup bermakna dengan sedikit barang, dimana kita mengalihkan pikiran kita terhadap keribetan perintilan dunia seperti baju, transportasi, rumah dan pernak-pernik lainnya, dan memanfaat kan hidup dengan focus pada kehidupan social dan menikmati hidup itu sendiri. Sebenernya konsep ini mengingatkan kita tentang konsep zuhud dalam Islam. Mengalihkan kecintaan kita pada dunia dan focus pada akhirat. Ada sebuah film dokumenter tentang minimalisme yang diinisiasi oleh Joshua Fields Millburn dan Ryan Nicodemus bisa disimak trailer-nya disini (full nya masih berbayar). Kalau disearch di youtube banyak juga tayangan tentang minimalism ini, karena semakin banyak yang mulai mengaplikasikannya, baik secara personal life atau family life. Menarik memang, bagaimana kita mengalihkan fokus pada kekayaan duniawi menjadi kekayaan hidup dalam artian sebenarnya. Kejenuhan yang muncul dari segala macam bentuk dunia yang kita ciptakan sendiri; dering ponsel yang semakin bikin stress, media sosial yang menjemukan, dan dunia kerja yang tiada habisnya. Saat dunia menawarkan segalanya lewat teknologi dan berbagai rupa hal baru dan menarik, justru kita rindu pada kesederhanaan dan kesimpelan hidup. 
Referensi buku minimalis gaya Jepang by Fumio Sasaki

Salah satu hal yang berubah adalah bagaimana saya berpikir tentang uang. Bagaimana di sekeliling saya orang-orang bekerja siang malam mencari penghasilan untuk membayar cicilan rumah atau mobil selama bertahun-tahun. Tapi kapan menikmatinya kalau pulang tengah malam, kemudian sebelum subuh sudah berkutat dengan kemacetan Jakarta. Awalnya saya juga berfikir untuk mengambil cicilan rumah di Depok atau Bogor untuk investasi, namun kemudian saya berpikir, untuk apa? Lebih baik saya menabung untuk travelling ke Korea atau ke Eropa.atau bahkan keliling dunia. Ambisius? Tidak saya kira. Hidup tak sebatas rumah yang kita punya, atau uang yang kita kumpulkan, tapi bagaimana kita sebanyak-banyaknya belajar dari orang lain dan lingkungan sekitar tentang hidup dan bagaimana bermanfaat bagi sesama.
Kemudian dua, bagaimana pesatnya pengaruh media sosial terhadap cara pandang kita dalam hidup. Begitu mudahnya kita dihujani dengan berbagai produk tangible dan intangible di Instagram, youtube, dan lain sebagainya. Idola-idola baru yang muncul bukan hanya karena talenta atau otaknya, tapi karena look so good in media. Selebgram, vlogger dan semacamnya. Saya merasakan betul bagaimana Instagram mendorong saya mencoba berbagai produk olshop. Dari kerudung, jaket, sepatu sampai skin care. Astaghfirullah, mengingat betapa kalapnya saya saat itu, bayangkan hampir tiap minggu abang-abang JNE nganterin paket dari olshop. Hingga akhirnya saya sadar di satu titik saat menatap barang yang belum sempat saya pakai menumpuk begitu saja.

....Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.
(QS. Al Isra’ : 26-27)

Deg. Terima kasih Ya Allah, telah mengingatkan dengan begitu jelas dan tegas. Begitu racunnya medsos hingga orang-orang berlomba-lomba menampilkan sisi diri yang paling update, paling keren, dsb. Secara ekonomi memang dunia medsos adalah pasar yang paling menjanjikan, dan mendorong peningkatan ekonomi dunia kreatif. Para influencer begitu laris dengan endorse berbagai produk, menggantikan advertising atau iklan konvensional. Muncul berbagai jasa dan produk yang sebelumnya tak terbayangkan. Misalnya tren bridal shower, baby shower, home living sampai jasa foto travelling dan foto pas lahiran. Beneran ya, bagi orang biasa seperti saya itu semua bikin ngiler. Siapa sih yang gak pengen liat rumah lucu, ditata rapi, sejuk karena banyak tanaman ijo, trus dalam sekali tap di layar muncul akun yang membawamu pesen barang ini itu dalam sekali klik. Olala, godaan banget gak sih. Trus mupeng lihat begitu mudahnya jalan-jalan ke luar negeri, photo sana sini, dari pre-wed sampe honey moon. Aaak dunia ini begitu melalaikan sodara-sodara.
Okelah, alhamdulillah saya yang sudah setua ini bisa sadar, tapi gimana dengan abege jaman now? Yang duit aja masih minta orang tua? Yang ga bisa nahan diri dengan pesatnya pengaruh media? Gak kebayang. Saya hanya bisa berdoa semoga generasi selanjutnya tidak selemah dan sekonsumtif yang saya bayangkan. Semoga.


No comments:

Post a Comment