Keluar Kotak



Tanpa disadari, kita hidup, tinggal dalam dunia yang teramat nyaman. Dalam artian  terlalu konsisten dalam satu kondisi, enggan berubah, dan terlalu asyik dengan diri sendiri. Merasa cukup ilmu, cukup pengalaman, cukup cobaan hidup. Lalu sudah. Berpikir bahwa perubahan itu mengganggu,  atau bahkan menghabiskan waktu untuk beradaptasi.
Mungkin ini akan menjadi sangat subjektif, karena berasal dari pendapat pribadi saya. Namun saya berusaha mengungkapkan apa yang saya rasakan, yang saya alami, yang saya lihat hingga menjadi suatu kesimpulan. Saya tidak tahu apa-apa. 
Dunia dan hidup ini terlalu luas dan terlalu singkat untuk dipahami dalam satu waktu atau satu sisi saja.
Sebelum saya lupa, saya akan lanjutkan cerita tentang apa yang saya alami di Thailand bulan lalu. Karena FYI saat ini saya sedang mengikuti training berbeda. Lagi. Jangan protes, haha. Dan lebih lama dari sebelumnya, 7 minggu, plus di ujung Indonesia lagi. Aceh. 



Thailand sama sekali tidak masuk dalam bucketlist saya. Negara yang tidak diprioritaskan untuk dikunjungi. Karena saya berpikir masih sama-sama negara ASEAN, maka ga keliatan serunya, haha. Meski demikian ketika kesempatan itu datang, tetep saja saya cemas. Karena saya sendirian. Saya sering pergi kemana-mana sendiri, keluar kota, ke daerah baru, namun masih dalam wilayah Republik Indonesia. Jadi training kemarin, untuk pertama kalinya saya pergi ke negeri orang sendiri, dalam artian tidak ada orang Indonesia lain. Bertemu orang-orang asing, di tempat asing yang saya sama sekali belum pernah kesana pula.
Diniatkan belajar, dan IOI training ini benar-benar membuka mata saya, dunia baru, karakter baru, ilmu baru. Yah saya kalah dari teman-teman kantor lain yang sering bolak-balik ke LN, cakap berbahasa asing, lihai bersosialisasi, dsb. Saya benar-benar newbie.



Saya datang dengan berbagai prasangka. Teman yang tahun sebelumnya ikut training yang sama, memberikan beberapa informasi, salah satunya, kalo dateng langsung cari teman yang kira-kira bisa diajak kemana-mana, biar gak bingung cari makan, jalan-jaan , dsb karena orang Thailandnya suka gerombol sendiri, bahasa inggrisnya terbatas. Oke, Saya catat. 
Karena saya muslim, siap-siap cari makan yang aman, simpen bekal di kamar, pinter-pinter bagi waktu buat sholat, dll.
Namun pada kenyataannya,banyak hal tak terduga yang saya temui. Bagaimana teman-teman peserta Thailand sangat welcome, meski beberapa orang masih terbatas bahasa inggrisnya, mereka tetap berusaha bersosialisasi dengan baik, jika bingung, mereka akan cepet-cepet minta bantuan teman yang lain untuk menjelaskan. Sering sekali bertanya pengen makan apa? Mau main kemana? (kecuali Santorini ya, haha), butuh apa? Dsb.


Di kelas pun, berasa sekali bagaimana ilmu saya sangat cetek, meski awalnya saya datang dengan sedikit bangga dengan apa yang terjadi Indonesia. Kekayaan laut luar biasa, kebijakan Laut yang mengejutkan dunia, dan Menteri Kelautan Perikanan yang terkenal dimana-mana. Ternyata? Tidak semua orang tahu tentang ini. Kebijakan kita masih sebagian kecil dari apa yang terjadi di regional Asia. Produksi perikanan Indonesia kita memang besar, no 4 di dunia, namun nilai ekspor kita sama sekali tidak masuk 5 besar, masih kalah dengan Thailand dan Vietnam.



Ketika kita protes China yang berekspansi kemana-mana cari ikan, bahkan dapat subsisdi dari pemerintahnya, ternyata saya baru tahu kalau negara lain juga melakukan hal yang sama. Subsidi untuk nelayan yang mencari ikan ke High Seas (Laut lepas) untuk meningkatkan nilai produksi dan memenuhi kebutuhan ikan di negerinya atau untuk ekspor. Sedangkan di Indonesia? Ngadepin ombak dua meter aja nelayan udah langsung balik kanan, padahal justru mungkin ikan banyak terdapat di daerah dengan ombak lebih dari lima meter. Semangat juang nelayan Indonesia masih kalah jauh dengan negara lain, makanya ga aneh kalau laut kita dicuri dari berbagai arah. Bikin gemes kali ya, lihat potensi luar biasa yang gak diapa-apain. 
Sudah seharusnya semangat kita memberantas IUU Fishing diimbangi dengan semangat untuk memanfaatkan apa yang kita punya. Secara teknologi kita kalah jauh, sehingga setidaknya kita butuh semangat juang untuk berusaha mengejar ketertinggalan kita. Standar produk, nilai tambah, sistem logistik, pasar, dsb.



Yah, berada ditengah-tengah forum pembelajaran seperti ini, kita baru menyadari apa yang tidak kita tahu, apa yang tidak kita punya, dan apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya untuk mengejar segala bentuk ketertinggalan.
Tidak hanya dari pengajar atau fasilitator saya memperoleh ilmu, tapi dari sesama peserta yang luar biasa, saya juga banyak belajar. Berbeda negara, berbeda profesi, berbeda pengetahuan, namun kami memiliki semangat yang sama untuk saling berbagi dan belajar. Saling membantu untuk memahami sebuah kasus atau topik, berbagi informasi, dan saling menyemangati ketika bertanya atau mengungkapkan pendapat. And its FUN.




Di luar kelas pun, kami berinteraksi dengan baik, lempar canda, olahraga bareng atau diskusi tentang berbagai hal, politik, sampai agama dan kebiasaaan. 
Saya mengamati bagaimana teman-teman Thailand sangat sopan, hormat terhadap orang yang lebih tua, mengucap salam saat bertemu “Sawadikhaa/khrap” sambil mengatupkan kedua tangan di dada. Santun, karena saat berjalan mereka akan berhenti dan menganggukkan kepala melakukan hal tersebut. Selalu demikian.
Saya juga memperhatikan bagaimana, teman dari Filipina yang sangat gentle mendahulukan peserta perempuan saat makan, berjalan, atau sekedar membukakan pintu. Kawan dari India, Sri Lanka dan Bangladesh yang sangat cerdas, semangat, suka sekali berdiskusi atau membahas suatu hal sampai detail. Dan banyak hal lain.
Dalam tulisan sebelumnya saya pernah menceritakan bahwa ada dua peserta muslim dalam training, saya dan peserta dari Bangladesh. Laki-laki. Anehnya kami justru jarang membahas tentang agama, malah kita lebih sering bahas Korea, karena dia dapet gelar Doktor dari Busan. Haha.




Justru saya banyak diskusi tentang Islam dengan kawan dari Thailand. Apakah mereka yang perempuan bisa melihat rambut saya, kenapa saya selalu pakai rok? bagaimana kalau berenang? Apakah bisa tinggal serumah dengan orang yang berbeda agama? Bisakah menikah beda agama? Atau bagaimana jika dalam satu keluarga beda agama? Dan banyak hal lain lagi.
Karena menurut cerita mereka, jumlah penganut Islam di Thailand semakin berkembang, jadi tidak sulit menemukan makanan halal dimana-mana. Meski lucunya, lotre disana hal yang legal dan biasa, iya lotere yang kita masukin nomer tertentu, diundi trus dapet uang, semua orang bisa beli lotre di Sevel atau di jalan-jalan. Dan mereka cerita kalau Muslim Thailand juga banyak yang ikut beli meski tahu kalau Islam melarang judi. Parah juga haha. 



Trus beberapa orang juga tidak tahu kalau Muslim juga tidak boleh minum alkohol, sehingga beberapa kali saya ditawari bir atau coktail warna-warni. Bahkan setelah tahu kadang mereka bercanda ;Ayo Nu, minum sedikit aja, kan ga ada yang tahu kalo kamu minum, haha.
Saya cuma geleng-geleng ketawa, ooo tidak bisaaa!
Pernah suatu kali pulang sampe hampir jam 12 malem dan semua orang minum, kecuali saya, udah deg-degan aja cuma saya yang waras, plus teman yang bawa mobil, Ployy,  meski mengaku gak minum banyak, mukanya yang putih udah merah gitu. Tapi syukur bisa nyampe hotel dengan selamat. Ffiuuh.


Untuk sholat alhamdulillah tidak ada kesulitan sama sekali. Karena kuliah senin-sabtu, maka waktu sholat bersamaan dengan waktu istirahat makan siang atau coffee break. Waktu sholat maghrib berbeda 1 jam, jadi sekitar jam 7 malam baru masuk waktu maghrib, jadi saya bisa ijin sholat dulu sebelum pergi. Dan saat di luar pun masih bisa menemukan tempat sholat, di mall atau tempat wisata.
Intinya adalah, seringkali kecemasan kita muncul dari prasangka atau pikiran kita saja, pikiran positif akan membawa kita pada hal yang positif juga. Dan pikiran saya semakin terbuka, banyak hal yang belum kita tahu padahal sudah seharusnya kita tahu. Banyak belajar, banyak berteman, dan yang penting, banyak main, setuju?
See Yaa


Comments

Popular Posts