foto : www.personalexcellence.co |
Sudah memasuki malam 25 Ramadhan, dan saya memilih membahas tentang mental illness. Entah kalo dibahasakan agak gak enak bacanya (gangguan jiwa or sakit jiwa) jadi saya milih istilah kerennya aja.
Baru hari ini saya mendengar seorang chef dan traveller ternama, Anthony Bourdain, mendadak diberitakan meninggal karena bunuh diri di apartemennya, dengan gantung diri (saya belum tahu persis kebenarannya). Beberapa waktu lalu diberitakan juga Kate Spade, seorang desainer ternama, bunuh diri juga karena depresi.
Saya kaget karena sosok-sosok yang aktif menjadi traveler atau di dunia kreatif bisa depresi dan meninggal dengan menyedihkan. This is absolutely sad and shocking news!
Beberapa bulan terakhir saya memang menjadi pengamat serius tentang mental illness ini. Faktanya, satu dari empat orang dewasa akan mengalami masalah kesehatan jiwa pada satu waktu dalam hidupnya. Bahkan setiap 40 detik di suatu tempat di dunia ada seseorang yang meninggal karena bunuh diri (WFMH, 2016). Data WHO (2016) menunjukkan, terdapat 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.
Dan semakin kita mencari tahu ditemukan banyak fakta mencengangkan tentang mental illness ini, pun di Indonesia yang ternyata jumlah kasus mental illness semakin bertambah. Inget Marshanda yang bipolar? Nah, banyak yang mengira dan menyamakan bahwa mental illness itu GILA.
Bukan kawan.
Mental illness banyak variasinya. Dari depresi ringan sampai ke Alzheimer. Dan sayang sekali masyarakat kita kurang sekali informasi mengenai hal ini dan cenderung menjauhi penderitanya karena dipandang sebuah hal yang memalukan. Padahal di luar negeri jika mengalami gejala depresi seseorang tanpa ragu akan menemui psikiater untuk membantu pengendalian atau penanganannya.
Nah kembali ke keingintahuan saya terhadap mental illness, sebenarnya diawali dari Bapak saya yang didiagnosa terkena Demensia Vaskular. Apa itu? Demensia Vaskular merupakan demensia yang paling umum kedua setelah penyakit Alzheimer. Mungkin kita lebih familiar dengan istilah Alzheimer ini.
Demensia terjadi akibat sel-sel di otak kekurangan oksigen. Sebuah jaringan pembuluh darah yang disebut sistem vascular memasok otak dengan oksigen, ketika kondisi ini tidak terjadi maka darah tidak dapat mengalirkan oksigen ke otak sebagaimana mestinya. Cirinya? Gangguan daya ingat atau memori, konsentrasi, komunikasi, kebingungan yang meningkat di malam hari, kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari, sampai perubahan mood drastis karena depresi dan lebih mudah marah. Sayangnya banyak orang yang menganggap penyakit ini sebagai pikun karena tua, dan tidak ditanggulangi serta diperlakukan sebagaimana mestinya. Gejala demensia dapat terjadi secara mendadak setelah stroke atau terjadi perlahan dari waktu ke waktu. Selengkapnya bisa digoogling sendiri lah ya.
Jumlah penderita demensia di negara berkembang lebih besar daripada negara maju (Sumber :www.prb.org) |
Yang terjadi pada Bapak saya sepertinya perlahan, karena secara fisik terlihat sehat, hanya memang saat ini lebih pelan dalam berjalan. Ketika dirunut dari beberapa bulan sebelumnya saat ibu saya sakit, bapak memang sering keliru ketika mengenakan kemeja, kesulitan memakai sandal, dan pelupa. Tapi kami sekeluarga tak pernah memperhatikan secara serius. Hingga akhirnya ibu meninggal, sepertinya semakin memperparah kondisi beliau. Tiba-tiba mellow, tak mengenali orang bahkan anak sendiri, kesasar di rumah sendiri, salah masuk rumah tetangga, curiga dan mudah marah.
Bapak dikenal seorang yang perfeksionis dan keras, sehingga banyak orang juga kaget jika ketika ngobrol tiba-tiba beliau menangis, memakai baju tidak rapi dan seenaknya. Padahal sebelumnya beliau paling rewel masalah baju yang tidak rapi. Sarung selalu dilipat rapi setelah dipakai, baju selalu diseterika, sekarang? Melepas kancing baju juga sulit, sarung bertumpuk begitu saja di ruang tamu sampai dapur. Tak terhitung sandal yang hilang sebelah, tertukar dengan orang (banyak sandal tak dikenal bertumpuk di rumah) sampai berkali-kali minta dibelikan sandal. Sedih memang, ketika melihat beliau kesal sendiri saat memakai sarung atau baju, melupakan banyak momen dalam hidupnya dan lupa anak sendiri.
Namun anehnya, terkadang bapak masih lancar berkomunikasi dengan seseorang, bude saya misalnya, masih nyambung kalau ngobrol tentang seseorang di masa lalu, atau tempat-tempat tertentu, terlihat bahwa tak ada masalah dengan memori jangka panjangnya. Tetapi esoknya beliau kaget kalau yang meninggal di rumah sakit itu ibu, bukan kakaknya, kaget kalau kakak saya sudah jadi guru, bingung dan bahkan merasa beliau sendiri sudah meninggal hingga minta dipanggilkan tetangga untuk dimandikan. Yah memang terlihat bermasalah dengan memori jangka pendeknya, seperti mengajukan pertanyaan yang sama secara berulang-ulang, merasa kehilangan uang, padahal kelupaan naruhnya, dsb.
Lalu apakah bisa sembuh? Dari beberapa literatur yang saya baca dan diskusi dengan dokter jawabannya adalah tidak bisa sembuh sepenuhnya, hanya bisa diperlambat level keparahannya, dengan obat dan penanganan yang tepat.
Dampak Global Demesia (sumber: www.agedcareonline.com.au) |
Bicara tentang mental illness, saya sendiri terkejut karena ternyata hal ini bisa terjadi pada siapa saja. Seperti di awal yang saya sebutkan ketika seorang traveler yang saya pikir begitu menikmati hidupnya, ternyata berakhir bunuh diri karena depresi. dan demensia ini begitu besar menghabiskan dana dalam penanggulangannya karena efek yang ditimbulkan adalah penurunan produktivitas seseorang, baik dalam bekerja atau beraktivitas secara sosial.
Dan saya akui, saya juga pernah mengalami depresi, sering menangis, curiga pada setiap orang, bahkan berpikir untuk bunuh diri. Namun alhamdulillah saya bisa move on dengan cepat, karena dukungan orang-orang sekitar. Ya, perhatian dan dukungan kuat dari orang-orang sekelilingnya lah yang sangat membantu orang-orang yang mengalami depresi. Lihat orang atau teman di sekitar kita, yang terlihat kuat menjalani hidup belum tentu mereka benar-benar kuat.
Saya sendiri begitu, banyak orang mengatakan saya kuat dan tahan banting secara emosional dibanding kedua kakak atau teman-teman saya. Padahal? Saya hanya berusaha terlihat kuat walaupun pikiran dan hati saya hancur, saya lemah dan kecewa, saya sekuat tenaga memunculkan image baik-baik saja.
Nah disinilah semua awal dari depresi. Jangan bohongi diri sendiri kawan, jujurlah, menangislah jika kecewa, ungkapkan jika marah, karena menahan diri itu sangat melelahkan. Ada waktunya kita meluapkan segala emosi, berbagi dengan saudara atau kawan, mintalah bantuan segera. Jangan pendam sendiri dalam hati, tingkatkan juga hubungan kita dengan Sang Pencipta, pasrah dan sampaikan segala keluh kesahmu pada Sang Maha Pemberi Petunjuk.
You are not alone.
Wassalam
No comments:
Post a Comment